Kamis, 03 Juli 2014


“Revolusi Mental”


Cirebon, iksanmubarokalif.blogspot.com — Tulisan Capres PDIP Joko Widodo berjudul Revolusi Mental yang dimuat di halaman opini Kompas (Hal. 6), Sabtu (10/5/2014), ternyata berujung polemik. Bukan pada materi tulisannya, namun justru pada sisi orisinalitasnya.
Hal ini terungkap dalam postingan di dinding Facebook wartawati senior Nanik S Deyang hari ini.
Nanik mengaku terhenyak lantaran kawannya yang juga Gubernur DKI Jakarta itu sedemikian cepat belajar menulis. “Jokowi ini yang saya kenal beberapa waktu lalu rasanya saya kok dulu belum pernah lihat dia ngetik di laptop atau kompiuter apalagi sampai begitu panjangnya. Dulu kalau kita rapat program yang mau diomongkan untuk membenahi Jakarta saja dia paling bawa buku kecil terus mencoret-coret pakai tulisan tangan,” tulis Nanik.
Nanik menegaskan dirinya belum pernah lihat Jokowi menulis di laptop atau komputer. “Selain waktunya tidak ada, rasanya dia bukan orang yang pandai menyusun kalimat. Tapi entahlah, mungkin setelah sy tdk bertemu 8 bulan ini, pak Gubernur yg sekarang Capres ini bisa jadi sudah lihai menulis. Tapi sudahlah soal menulis kan bisa saja dituliskan oleh orang di sekitarnya termasuk Anggit, kawan karibnya yg jadi think tank-nya selama ini. Seperti dulu kalau menjawab pertanyaan wartawan secara tertulis,” bebernya lagi.
Nanik pun lebih kaget lagi ketika dirinya membaca koran Sindo di halaman opini juga (hal. 10). Di situ dia melihat tulisan opini dengan judul yang sama dengan yang ditulis Jokowi di Kompas, yaitu “Revolusi Mental“. Hanya saja tulisan opini yang di Koran Sindoditulis oleh Sekretaris Komisi HAK KWI Romo Benny Susetyo.
Menurut Nanik, memang kedua tulisan ini tidak sama persis, tapi esensinya sebetulnya sama.
Saya iseng telepon kawan yang masih ada di seputar Jokowi, dan dapat kabar ternyata Romo Benny Susetyo itu Tim Sukses Jokowi. Lantas saya berfikir jadi siapa sebenanya yg mempunyai konsep visi -misi “Revolusi Mental” ini?????….Ah aku masih terhenyak di tempat duduk sambil nyakot bakwan Jagung melihat hal-hal yg makin hari makin aneh…..ra popo…ra mikir…,” begitu tulisnya dengan nada canda.
Juru Bicara Tim Pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Hasto Kristiyanto, mengatakan revolusi mental yang diusung Jokowi akan membuat karakter anak bangsa semakin kuat. Ujungnya, Indonesia bisa menyalip kemajuan Singapura dan Malaysia karena memiliki pemimpin yang bersih tanpa beban.

"Revolusi Mental ala Jokowi adalah membangun manusia yang berkepribadian Indonesia: Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berperikemanusiaan; memiliki tradisi musyawarah mufakat; bergotong royong dan selalu memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial. Ini merupakan solusi atas rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia," kata Hasto kepada wartawan di Jakarta, Rabu (2/7/2014).

Contoh konkret revolusi mental ialah menempatkan guru sebagai salah satu tiang negara. Menurutnya, guru akan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan kualitas didiknya dan pada saat bersamaan kesejahteraannya juga bertambah.

Penerimaan negara pun terdongkrak karena aparat negara mengharamkan korupsi. Imbasnya, PNS menjadi terjamin kesejahteraannya karena penyelamatan kekayaan negara dari pencurian, mafia impor daging, mafia minyak, dan lain-lain. Begitupula dengan lapisan masyarakat lainnya.

"Revolusi mental diciptakan melalui pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Program ini tidak mungkin dilaksanakan kubu sebelah yang membawa gerbong partai yang banyak tersandera kasus korupsi," tegas Hasto.

Hasto meyakini revolusi mental merupakan cara efektif bagi Indonesia mengejar ketertinggalan dari Malaysia dan Singapura. "Selamat datang kebangkitan baru Indonesia bersama Jokowi-JK," katanya.

Ide revolusi mental ini membuat Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Fadli Zon, ragu. Namun, Hasto menilai keraguan itu adalah hal wajar mengingat Fadli merupakan sosok pengagum Bapak Komunisme Karl Marx--seperti yang tertuang dalam wawancaranya di Dewimagazine.com pada Agustus 2012.

“Untaian bunga merah yang dipersembahkan Fadli Zon di makam Karl Marx menegaskan mengapa Fadli Zon begitu menyukai ilmu menyerang yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia,” cetus Hasto. (*)
(Nav)